Sikap Para Ulama Terhadap Filsafat Dan Ilmu Kalam

Sikap Para Ulama Terhadap Filsafat Dan Ilmu Kalam

Ditulis oleh Ustadz Makmur Dongoran, Lc, M.S.I (Pembina KSI)

Para ulama berusaha sekuat tenaga mengkritik sikap ahli filsafat dan ahli kalam yang mencoba menggabungkan antara ilmu akidah dengan filsafat dan ilmu kalam.

Karena pada masa Rasulullah dan generasi terbaik, akidah Islam masih bersih dari segala pemikiran filsafat.

Hingga beberapa ilmuan mencoba menggabungkan antara akidah dengan filsafat dan ilmu kalam, dan mereka menamainya dengan istilah “filsafat islam” seperti yang dilakukan oleh Ibnu Sina dan kawan-kawannya.

Ternyata bukannya memberikan kontribusi terhadap Islam, melainkan mereka telah memerangi akidah secara terang benderang.

Namun tentunya pemikiran filsafat dan ilmu kalam yang kemudian mereka beri nama dengan istilah “filsafat Islam” mendapat kritikan keras dari para ulama Ahlussunnah yang memiliki semangat dalam menyebarkan akidah yang murni.

Setidaknya, ada dua tipe ulama yang secara terang-terangan membantah pemikiran filsafat dan ilmu kalam.

1. Ulama Yang Sejak Awal Memperingati Bahayanya

Ulama yang secara jelas dan tegas menjelaskan kepada umat akan bahaya ilmu filsafat dan ilmu sejak awal, seperti yang dilakukan oleh imam Ahmad dan imam Syafi’i.

Bahkan dalam satu momen Imam Syafii berkata sebagaimana dinukil oleh syaikh Sulaiman Al-Asqar:

حكمي في أهل الكلام أن يضربوا بالجريد والنعال، ويطاف في القبائل والعشائر، ويقال: هذا جزاء من ترك الكتاب والسنة وأقبل على الكلام

Keputusanku terhadap ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah pohon dan sendal, dan diarak di hadapan kabilah dan masyarakat, lalu disampaikan: “Inilah balasan atas orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah dan menyibukkan diri dengan ilmu kalam”.

2. Ulama Yang Mendalami Ilmu Kalam Kemudian Menyesal

Imam Abu Musa Al-Asyari

Imam Al-Asy’ari di fase awal hidupnya merupakan seorang tokoh Mu’tazilah (mazhab ahli filsafat dan kalam), bahkan ia bergulit dan menguasi ilmu filsafat selama 40 tahuh. Namun hidayah Allah menyapanya, dan Kembali kepada manhaj Ahlussunnah, di saat itu ia mulai rajin membantah dengan tegas pemikiran Mu’tazilah (Sulaiman Al-Asyqar, Al-Qaidah fi Allah, h. 49)

Imam Al-Razi

Di antara ulama yang menyesal karena telah menyibukkan hayatnya untuk mendalami ilmu filsafat dan ilmu kalam adalah imam Muhammad bin Umar Ar-Razi sebagaimana dikutip oleh imam Ibnu Al-Qayyim dalam dalam As-Sawaiq al-Mursalah (hal.7) bahwa imam Ar-Razi menuliskan satu syair yang berisi penyesalannya atas umur yang ia sia-siakan selama ini untuk mempelajari ilmu filsafat.

Dalam kitab I’tiqadat Firaq Al-Muslimin (hal. 23) karya imam Ar-Razi menyebutkan “Saya telah menelaah metode-metode ilmu kalam dan ilmu filsafat, dan saya tidak pernah melihat bahwa kedua ilmu itu dapat menyembuhkan orang yang sakit atau tidak pula dapat melepaskan orang yang terbelenggu.

Lalu aku melihat bahwa sebaik-baik jalan adalah yang sesuai dengan jalannya Al-Qur’an.

Imam As-Syahristani

Imam As-Syahristani memukul dirinya dan mengakui bahwa setelah penelitian panjang ia tidak mendapatkan dalam ilmu filsafat dan ilmu kalam kecuali kebingungan dan penyesalan, sebagaimana ia jelaskan dalam kitabnya Nihayatul Iqdam (hal.3).

Imam Al-Juwaini

Imam Al-Juwaini salah satu pakar ilmu filsafat dan ilmu kalam, ia mengatakan kepada teman dekatnya sebagaimana dikutip oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa al-Hamawiyah (hal.7) :

يا أصحابنا لا تشتغلوا بالكلام، فلو عرفت أن علم الكلام  يبلغ ما بلغ ما اشتغلت به

Wahai sahabat kami, jangan sibukkan diri kalian dengan ilmu kalam, karena seandainya kalian tau apa yang sudah saya alami, maka anda tidak akan menyibukkan diri untuknya.

Imam Al-Ghazali

Kemudian murid Al-Juwaini yakni imam Abu Hamid Al-Ghazali, setelah lama berjibaku di dunia ilmu kalam dan filsafat, di fase akhir hidupnya ia menyesal dan menulis sebuah buku yang mana secara jelas ia mengharamkan ilmu kalam.

Dan di akhir hayatnya ia benar-benar berpaling dari ilmu kalam, dan menyibukkan diri dengan ilmu hadits, bahkan ia wafat sedang kitab shahih Bukhari ia genggam di atas dadanya (Sulaiman Al-Asyqar, al-aqidah fi allah, h. 48).

Semoga bermanfaat.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *